Beranda | Artikel
Benarkah Nabi Tidak Pernah Marah Ketika Pribadinya Dizalimi?
13 jam lalu

Keindahan akhlak Nabi ﷺ tidak ada habisnya untuk dibahas. Salah satu nilai istimewa dari akhlak Nabi kita ﷺ adalah akhlak indahnya tidak hanya kepada orang yang baik kepadanya, tetapi juga kepada mereka yang menzalimi Nabi ﷺ. Bahkan kezalimannya begitu besar, sampai tidak terbayang oleh kita bahwa Nabi ﷺ dapat dengan lapang dada dan bersikap rahmat kepadanya.

Dalam artikel ini, kita akan mengulas keindahan akhlak Nabi ﷺ kepada para musuh yang menzaliminya. Sehingga dapat menjadi teladan bagi kita semua yang dalam kehidupannya tidak hanya dibersamai orang baik, tetapi juga menghadapi orang-orang yang menzalimi kita. Termasuk pula sisi manusiawi dari Rasulullah ﷺ yang tetap memiliki perasaan dan pernah terluka hatinya.

Kaidah: Umumnya Nabi ﷺ tidak marah kecuali apabila hak Allah ﷻ dilanggar

Asalnya, Nabi ﷺ tidak marah kecuali bila hak Allah ﷻ dilanggar. Bahkan ketika Nabi ﷺ dizalimi personalnya dengan tindakan yang sangat menghinakan. Beberapa contoh kisah yang sangat terkenal berkaitan ini adalah ketika Nabi ﷺ bersujud mengarah Kabah, lalu ada seorang yang menumpahkan isian perut unta di atas punggung Nabi ﷺ. Nabi ﷺ tidak marah meledak, padahal begitu direndahkan. Nabi ﷺ hanya terus bersujud, sampai Fatimah membersihkan isi perut unta tersebut, lalu beliau bangkit dan menyelesaikan salatnya. Kemudian Nabi ﷺ berdoa,

اللَّهُمَّ عَلَيْكَ الْمَلَأَ مِنْ قُرَيْشٍ أَبَا جَهْلِ بْنَ هِشَامٍ وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَشَيْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ أَوْ أُبَيَّ بْنَ خَلَفٍ شُعْبَةُ

“Ya Allah, aku serahkan (urusan) para pembesar Quraisy kepada-Mu. Yaitu, Abu Jahal bin Hisyam, ‘Utbah bin Rabi’ah, Syaibah bin Rabi’ah, Umayyah bin Khalaf atau Ubay bin Khalaf.” (HR. Bukhari No. 3565)

Kisah lain adalah ketika di Taif, Rasulullah ﷺ berdakwah di kampung ibunya tersebut, tetapi dibalas dengan lemparan batu sampai wajahnya berdarah. Rasulullah ﷺ tidak membalas atau marah dengan perbuatan itu, tetapi justru mendoakan agar muncul generasi Islami dari keturunan mereka. Begitupula dengan konspirasi Quraisy yang hendak membunuh Nabi ﷺ, pelakunya tidak Nabi apa-apakan, malah justru diajak ke dalam Islam.

Namun, ketika hak Allah ﷻ dihinakan, maka Rasulullah ﷺ akan marah sesuai dengan kadar yang Allah takdirkan untuk Nabi-Nya. [1]

Tersebar ungkapan ini dalam bahasa Arab yang disandarkan kepada Nabi ﷺ riwayat Bukhari no. 6288, Muslim no. 4294, dan riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 4153. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah Ummul Mukminin,

‎وَاللَّهِ مَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ فِي شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ قَطُّ حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللَّهِ فَيَنْتَقِمُ لِلَّهِ

“Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena urusan pribadi. Tapi jika ajaran Allah dilanggar, maka beliau menjadi marah karena Allah (lillah).” (HR. Bukhari no. 6288)

Dalam narasi lain yang senada, Ibunda Aisyah radhiyallahu ‘anha juga meriwayatkan dengan predikat hadis sahih,

ما رأيتُ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ منتَصِرًا مِن مظلِمةٍ ظُلِمَها قَطُّ ما لم تُنتَهك محارمُ اللَّهِ فإذا انتُهكَ من محارمِ اللَّهِ شيءٌ كانَ أشدَّهم في ذلِك غضبًا

“Aku tidak pernah melihat Rasulullah ﷺ marah selama larangan Allah tidak dilanggar. Namun, jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau adalah orang yang paling marah dalam hal itu.” [2] (HR. Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya, 8: 132; dinukilkan Tirmidzi dalam Syamail no. 332)

Dalam Tahdzib Siratin Nabi, An-Nawawi rahimahullah menyebut ungkapan yang meringkas sifat Nabi ﷺ dari beragam riwayat,

ولا يغضب لنفسه، ولا ينتقم لها

“Beliau tidak pernah marah atau (merasa) membalas dendam karena kepentingan pribadi.”

وإنما يغضب إذا انتهكت حرمات الله عز وجل فحينئذ يغضب ولا يقوم لغضبه شيء حتى ينتصر للحق

“Beliau akan marah apabila ada yang melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allāh. Dan tidak ada yang bisa menghentikan kemarahannya sedikit pun sampai beliau bisa menunjukkan kebenaran.”

Maka, beragam riwayat dan penegasan dari para ulama terdahulu menunjukkan bahwasanya memang Rasul kita ﷺ terkenal dengan akhlaknya yang mulia, yakni beliau tidak akan marah kecuali untuk urusan hak Allah ﷻ.

Akan tetapi, hal ini bukanlah kemutlakan. Nabi ﷺ tetap memiliki sifat manusia yang dapat marah dan juga rida. Kaidah ini bukan berarti Nabi ﷺ tidak pernah marah sama sekali, melainkan marahnya Nabi ﷺ adalah praktik marah terbaik, berupa caranya, momentumnya, terlebih lagi alasannya. Hal ini didasarkan kepada dalil umum bahwa Rasulullah ﷺ memiliki akhlak yang agung.

وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)

Dalam sebuah hadis, Nabi ﷺ tidak menampik bahwa beliau juga seorang manusia yang juga kadang marah dan kadang rida, tetapi semua yang keluar dari Nabi ﷺ tertuntun Allah ﷻ,

قال عبد الله بن عمرو ـ رضي الله عنه: كنت أكتب كل شيء أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ، فَقَالُوا: إِنَّكَ تَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ وَالرِّضَا، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: اكْتُبْ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا خَرَجَ مِنِّي إِلَّا حَقٌّ. رواه أحمد في المسند وأبو داود في السنن.

Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku biasa menulis semua yang kudengar dari Rasulullah ﷺ untuk dihafal. Kaum Quraisy melarangku melakukannya, dengan mengatakan: Kamu menulis semua yang kamu dengar dari Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ adalah manusia yang berbicara dalam keadaan marah dan senang. Maka aku berhenti menulis dan menceritakan hal itu kepada Rasulullah ﷺ. Beliau berkata: Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada yang keluar dariku kecuali kebenaran.” (HR. Ahmad dalam Al-Musnad dan Abu Dawud dalam As-Sunan)

Dalam hadis ini diisyaratkan bahwa Rasulullah ﷺ tetap memiliki sisi manusiawi. Akan tetapi, kita tidak boleh memutlakkannya sebagaimana Quraisy menilai Nabi. Sikap yang tepat adalah mengakui sisi manusiawi dari Nabi dan sisi tersebut tidak membuat cela pada kesempurnaan sifatnya sebagai manusia terbaik.

Dalam hadis lain, terdapat testimoni dari Aisyah, istri terkasih baginda Nabi ﷺ dalam praktik akhlak Nabi di rumah,

قالت عائشة ـ رضي الله عنها: مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ خَادِمًا لَهُ قَطُّ، وَلَا امْرَأَةً، وَلَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِهِ شَيْئًا قَطُّ، إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَلَا خُيِّرَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ قَطُّ، إِلَّا كَانَ أَحَبَّهُمَا إِلَيْهِ أَيْسَرُهُمَا، حَتَّى يَكُونَ إِثْمًا، فَإِذَا كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنَ الْإِثْمِ، وَلَا انْتَقَمَ لِنَفْسِهِ مِنْ شَيْءٍ يُؤْتَى إِلَيْهِ، حَتَّى تُنْتَهَكَ حُرُمَاتُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul seorang hamba atau seorang wanita dengan tangannya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya kecuali ketika berperang di jalan Allah. Dan beliau tidak pernah diberi pilihan antara dua perkara, kecuali perkara yang lebih dicintainya adalah perkara yang lebih mudah baginya, hingga perkara itu menjadi dosa. Dan jika perkara itu menjadi dosa, maka beliau adalah orang yang paling jauh dari dosa, dan beliau tidak pernah membalas dendam. Untuk dirinya sendiri dari apa pun yang dibawa kepadanya, hingga kehormatan Allah ﷻ dilanggar.”

Hadis ini menunjukkan bahwasanya Nabi ﷺ tidak pernah membalas dendam untuk dirinya sendiri. Sebaliknya, beliau adalah orang yang penyabar dan pemaaf. Beliau akan selalu memaafkan, kecuali jika itu adalah hak Allah ﷻ, yang dalam hal itu beliau akan membalas urusan itu untuk Allah ﷻ.

Dalam hadis lain, dengan tegas Nabi ﷺ mengakui bahwa dirinya juga diliputi amarah pada momen tertentu, alias punya potensi untuk marah sebagaimana manusia lainnya.

عن أبي هريرة ـ رضي الله عنه أن النبى صلى الله عليه وسلم قال: اللهم إنما محمد بشر يغضب كما يغضب البشر، وإنى قد اتخذت عندك عهدا لن تخلفنيه فأيما مؤمن آذيته أو سببته أو جلدته فاجعلها له كفارة وقربة تقربه بها إليك يوم القيامة.

Dari Abu Hurairah, Nabi ﷺ bersabda, “Ya Allah, sesungguhnya Muhammad adalah manusia, dapat marah sebagaimana manusia marah. Dan sungguh aku telah berjanji kepada-Mu yang tidak akan Engkau ingkari. Maka, jika aku menyakiti, menghina, atau mencambuk seorang mukmin, jadikanlah itu sebagai penebus dosa dan sarana untuk mendekatkannya kepada-Mu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Terdapat hikmah yang besar dari beberapa momen Nabi ﷺ marah dengan kondisi-kondisi tertentu yang berkaitan dengan pribadinya. Beberapa di antaranya mengandung pelajaran dan hukum yang berbeda. Mari kita simak beberapa di antaranya:

Nabi ﷺ marah ketika integritasnya dipertanyakan

Nabi ﷺ pernah marah kepada salah seorang yang mengkritisi keputusannya. Dalam sebuah pembagian ghanimah (rampasan perang) di perang Hunain, Rasulullah ﷺ mengatur pembagian ghanimah dengan jumlah lebih banyak kepada orang tertentu. Pembagian ghanimah memang menjadi hak prerogatif beliau sebagai pemimpin, tentu tidak boleh ada yang mengintervensi. Terlebih lagi beliau adalah seorang Nabi ﷺ yang perbuatannya dituntun wahyu Allah ﷻ. Dalam hal ini juga Nabi ﷺ memiliki alasan yang kuat, yakni dalam rangka untuk melembutkan hati beberapa orang yang diharapkan masuk ke dalam Islam.

Namun, orang-orang Arab badui (pedalaman) yang tidak memahami merasa tidak terima dengan sistem pembagian itu. Salah seorang di antara mereka mengatakan kepada Rasûlullâh ﷺ,

يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ

“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah ﷺ bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil!”

Nabi ﷺ marah kepada orang badui yang mengkritik integritas dan keadilan Nabi ﷺ. Sebagian ulama menjelaskan bahwa marahnya Nabi ﷺ ketika dimintai keadilan, karena ini adalah sifat yang paling melekat dan menjadi inti dari kenabian. Jika seorang nabi tidak memiliki integritas, maka patut dipertanyakan syariat yang dibawanya benar-benar masih murni atau tidak. Sedangkan seorang nabi umumnya disebut Al-Amin, terlebih lagi Nabi kita ﷺ. Jika Nabi ﷺ saja tidak bisa adil, lantas siapa lagi yang mampu bersikap adil?

Maka, jelas bahwasanya Nabi ﷺ pernah marah berkaitan personalnya yang melekat dengan sifat utama seorang Nabi dan ini merupakan bentuk kemarahan yang sesuai pada porsinya.

Nabi ﷺ marah hingga ditegur Allah ﷻ

Nabi ﷺ pernah marah hingga ditegur Allah ﷻ. Dalam QS. Abasa, Allah ﷻ memberikan teguran kepada Nabi ﷺ yang marah ketika seorang sahabat buta, Abdullah bin Ummi Maktum, menyela Nabi ﷺ yang sedang berdakwah kepada para pembesar Quraisy. Asalnya tindakan berdakwah kepada para pembesar ini adalah strategi dakwah yang tepat. Namun, Allah ﷻ menegur Nabi ﷺ ketika beliau berpaling dari orang yang lebih kecil dalam mendakwahi orang-orang besar. Padahal, perintah dakwah Nabi ﷺ adalah diarahkan kepada semua kalangan tanpa ada yang diistimewakan.

Secara personal, tentu kita pun akan tersinggung ketika berbicara kemudian disela. Apalagi ini dalam momen berdakwah kepada orang-orang penting. Bayangkan Anda sedang memberikan nasihat kepada Presiden dan para menteri, lalu seorang buta dari kalangan murid Anda menyela ceramah Anda. Apakah Anda bisa menahan diri untuk tidak marah? Maka, secara manusiawi hal ini wajar sekali. Terlebih Nabi ﷺ tidak mengeluarkan satu pun perkataan batil, beliau hanya memalingkan wajah saja. Namun, di sisi Allah hal ini perlu diluruskan agar menjadi hikmah bagi umat manusia.

Oleh karena itu, kisah ini menunjukkan salah satu momen di mana Nabi ﷺ pernah marah secara pribadi. Dalam contoh ini, Allah ﷻ langsung memberikan teguran. Tujuannya agar menjadi asas dalam berdakwah bahwasanya dakwah tidak boleh terklasifikasi, serta tidak membuka celah sama sekali menghadirkan suasana eksklusif kepada sebagian orang.

Nabi ﷺ pun tak mampu membendung memori luka hati

Nabi ﷺ pada suatu momen pun pernah menunjukkan bahwa hatinya yang terluka tak semudah itu terobati. Sebagaimana manusia pada umumnya, ketika ia terluka hatinya, pasti mengalami kesulitan dalam memaafkan apalagi melupakan kejadian pahit itu. Hal ini terjadi pada Nabi ﷺ pula ketika masuk Islamnya Wahsy, yang telah membunuh Hamzah, paman kesayangan Nabi ﷺ. Wahsy bin Harb adalah sosok yang membunuh Hamzah di medan Perang Uhud. Kehilangan Hamzah adalah kesedihan yang teramat bagi baginda Nabi ﷺ. Hamzah adalah paman kesayangannya yang tumbuh besar bersama. Perjuangan Hamzah berbalas gelar dari Nabi ﷺ sebagai asadullah atau singanya Allah ﷻ. Gelar ini selain menunjukkan keberanian Hamzah, juga mengandung perasaan kasih yang mendalam dari Nabi kepada Hamzah. Tertoreh luka yang begitu dalam di hati Nabi ﷺ kepada orang yang telah menghilangkan nyawa Hamzah.

Namun, takdir Allah ﷻ begitu indahnya. Seorang yang menyiratkan luka di hati Nabi kita, akhirnya masuk Islam di masa Fathu Makkah. Wahsy datang kepada Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ mengenalinya, kemudian terjadilah dialog berikut,

فَلَمَّا رَآنِي قَالَ:  آنْتَ وَحْشِيٌّ  قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ:  أَنْتَ قَتَلْتَ حَمْزَةَ  قُلْتُ: قَدْ كَانَ مِنَ الأَمْرِ مَا بَلَغَكَ، قَالَ:  فَهَلْ تَسْتَطِيعُ أَنْ تُغَيِّبَ وَجْهَكَ عَنِّي؟  قَالَ: فَخَرَجْتُ ،

“Ketika beliau melihatku, beliau berkata, “Kau Wahsyi.” Aku berkata, “Ya.” Beliau berkata, “Kau telah membunuh Hamzah.” Aku berkata, “Apa yang telah sampai padamu telah terjadi.” Beliau berkata, “Bisakah kau menyembunyikan wajahmu dariku?” Beliau berkata, “Maka aku pun pergi.” (HR. Bukhari no. 4072 dan lainnya)

Potongan hadis ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ pun tak dapat menahan dirinya sepenuhnya dari gejolak luka di hatinya. Meskipun seorang yang berdosa itu telah tertebus dengan masuk Islam, tetapi luka secara personal tak mudah hilang.

Nabi ﷺ tentu berbahagia dengan masuknya Wahsy ke dalam Islam. Nabi ﷺ adalah orang yang paling berkasih-sayang di antara seluruh umat manusia. Namun, kelukaan hati itu tak dapat dielakkannya. Wajah yang membunuh pamannya, sudah barang tentu dapat membangkitkan luka itu. Dan Nabi ﷺ pun tidak keluar dari batas halal-haram dan keadilan, ia pun tetap menerima keislaman Wahsy, mengakuinya sebagai masyarakat kaum muslimin. Hanya saja, Nabi kita ﷺ tak mampu melihat wajahnya, karena tak ingin luka kesedihan itu timbul kembali.

Sikap Nabi ﷺ kepada Wahsy ini juga menelurkan faidah bahwasanya boleh saja orang menjaga jarak dengan saudara sesama muslim dalam rangka menjaga kondisi hatinya. Namun, ia tak boleh membenci seorang muslim secara mutlak, karena keislaman telah mempersaudarakan siapapun di antara muslim. Wajar sekali bagi manusia untuk terluka hatinya, terkenang memori buruk, atau timbul rasa tidak suka kepada sesama muslim. Namun, tidak boleh ia melewati batas keadilan hingga menzalimi. Di antara bentuk kezaliman itu adalah mencaci-maki, gibah, apalagi fitnah. Maka, betapa indah kehidupan seorang muslim, saat bertengkar pun tetap menjaga hak-hak sesamanya.

Kisah Wahsy ini masih memiliki kelanjutan yang mengandung faidah besar, tetapi fokus nilai yang diambil sudah didapatkan pada potongan ini. Semoga Allah mudahkan kita untuk mempelajarinya di momen berikutnya.

Kristal hikmah

Tiga contoh yang kami sebutkan harapannya dapat menunjukkan bahwa ada banyak ragam momen dari baginda Nabi ﷺ ketika marah. Semua keadaan itu berbeda-beda kondisinya dan hukumnya. Maha suci Allah yang telah menjadikan Muhammad ﷺ sebagai suri teladan yang sempurna. Bahkan momen marahnya pun menjadi pelajaran bagi kita semua di hari ini.

Baca juga: Mengenal Ciri-Ciri Fisik Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] https://www.islamweb.net/ar/fatwa/172943/

[2] https://dorar.net/hadith/sharh/85211


Artikel asli: https://muslim.or.id/110020-benarkah-nabi-tidak-pernah-marah-ketika-pribadinya-dizalimi.html